Selasa, 18 November 2008

Sunyi yang mengusik


Mengapa ada kata?

Mengapa ada rasa?

Mengapa ada waktu yang menggelisahkan?

Sedang kilauan tatap masih memberi harap untuk direngkuh.


Permadani Sunyi, 16/11/08

Belaian Sunyi


Pagi telah mekar,
meninggalkan sejenak kesunyian yang mesti dinikmati.

Dari balik langit, belaian cahaya perlahan memungut embun yang semalam bercengkrama pada pucuk dedaunan.
Menyisakan kering yang perlahan semakin mengering...

Menguapkan wewangi kerentaan yang menjalar pada sudut dunia yang tak tersentuh belaian,
tempat aku menghabiskan gurat senyum.
Sejenak ku diajak bercengkrama dalam sunyi, diam... terdiam dan semakin diam dalam diam.

Kemudian dalam keterburuan, meninggalkan ku untuk menyapa yang lain...
Tapi ada serpihan senyum yang sempat kami lukiskan di lautan luas...


Permadani Sunyi, 16/11/08

Diaroma Taman Surga


Asa jemari inginkan membelah langit,
memungut kepingan kesejukan yang terhampar di taman firdaus...

Sejenak bercengkrama dengan para bidadari yang tak berkesudahan bermain di aliran sungai,
yang sekali waktu tak sungkan menyuguhkan arak dan susu keabadian.

Sekejap ku tak ingin melepas kenikmatan itu...

Walau di akar bumi, raga menanti dalam gelisah...


Permadani Sunyi, 16/11/08

Cahaya Asa


Dan ketika cahaya itu kian berkilau...
Haruskah langkah khan terhenti?

Permadani Sunyi, 16/11/08

Senyuman Fatamorgana


Kepingan waktu mengiring dentingan gelisah,
Langkah-langkah ringkih yang dulu berlari terbang melayang kian merapuh.

Semasa lalu baru kelopak menatap kilauan padang hijau nan menyejukkan,
Sekejap kemudian tatap menggulita,
Sepi...
Sunyi...

Adakah masih setetes embun khan menyejuk dahaga?
Adakah sekilauan cahaya yang khan masih beri kekuatan 'tuk sejenak berharap...?
Sedang seoonggok fatamorgana tersenyum sinis dalam keangkuhan.


Permadani Sunyi, 16/11/08