Minggu, 16 Agustus 2009

Bersahabat dengan Bencana (Catatan di hari bumi yang tak membumi)

Oleh
Handiro Efriawan


We are beginning to think
We are writing the new chapter of history
to demand our right
take on our duties
and defend our identity and our tradition
(Kranak, 1992)


Fakta mencatat bahwa pada dinding sejarah kehidupan manusia di bumi telah terukir penggalan kata tersebut. Pernyataan dalam deklarasi yang disampaikan oleh Kranak seorang suku asli dari Amazone pada Earth Summit yang dilaksanakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Rio de Jenairo Brazil 3-13 Juni 1992. Sebuah forum kongres bumi se-dunia yang dihadiri lebih dari 100 Kepala Negara ketika itu. Suatu keniscayaan yang tidak akan terhapus dari rekaman waktu. Pertanyaan mendasar kemudian, adakah semua manusia di bumi pernah membaca, mendengar atau sekedar mengetahui pernyataan tersebut? Begitupun dengan hari bumi yang disepakati diperingati setiap tanggal 22 April setiap tahunnya ini, adakah masyarakat peduli?

Benturan-benturan peradaban dalam kehidupan yang semakin materialis berkorelasi positif dengan guncangan lingkungan kehidupan. Fenomena ini menjadi kajian yang beberapa dekade terakhir begitu menghangat hingga dislogankanlah isu pemanasan bumi (global warming) yang beriring dengan perubahan kondisi kehidupan alam yang menyodorkan isu serupa, perubahan iklim (climate change) . Isu yang katanya begitu membelalakkan mata dan mengguncang kesadaran makhluk di muka bumi yang disebut manusia. Hingga berbagai event kajian dan aksi dibentang bergantian di berbagai negara-negara di seluruh jagad dunia, termasuk Indonesia. Di awali dengan berbagai aktifitas-aktifitas minimalis kemudian dimeriahkan dengan kegiatan boombastis seperti pertemuan para pakar, pemerhati dan kelompok masyarakat yang peduli dengan permasalahan lingkungan di Bali yang fokus dengan isu global warming dan climate change. Bahkan beberapa waktu kedepan tanggal 11-15 Mei 2009 juga kembali akan digelar pesta spektakuler “World Ocean Conference (WoC)” di Manado.

Lantas apa yang kemudian menjadi penting?
Perhelatan semacam kongres, konferensi, simposium, seminar, lokakarya, diskusi dan berbagai jenis forum lainnya berulang sudah digelar, berulang dan akan terus berulang, tiada henti. Wacana mengemuka panas menyesakkan, menghangatkan bumi, sejenak kemudian hanya menjadi wacana yang tinggal, tertinggal, atau sengaja ditinggal di arena. Serimonial-serimonial yang menggerus anggaran pun tinggal kenangan. Adakah kerisauan dari manusia yang telah dilengkapi dengan akal untuk sekedar berfikir akan fenomena tersebut? Akankah semua sebatas momentum yang menunjukkan kelatahan dari manusia-manusia yang justru terlihat aneh dengan paradoks aktifitas yang menunjukkan keanehan-keanehan lain? Sebagai contoh kecil, selama kegiatan-kegiatan bertemakan lingkungan tersebut berapa batang puntung rokok yang terserak? berapa kadar asap yang dihasilkan? Contoh yang lain begitu banyak terhampar, merisaukan.

Secara historis, manusia sebagai makhluk hidup senantiasa akan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya. Interaksi antara manusia dengan alam dan lingkungannya telah berlangsung sejak manusia dilahirkan ke permukaan bumi. Interaksi yang seharusnya saling memberikan manfaat, dimana manusia melakukan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia dengan tetap menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan. Akan tetapi akhir-akhir ini mulai dirasakan masalah dalam interaksi tersebut. Manusia telah melakukan eksploitasi sumberdaya secara berlebihan sehingga berdampak pada ketidakseimbangan alam dan lingkungan hidup.

Bumi sebagai ekosistem besar merupakan sistem pendukung kehidupan manusia (Life-support system) di planet bumi (Spaceship earth) yang lebih dikenal sebagai ecosphere atau biosphere. Ribuan tahun yang lalu manusia hidup tanpa khawatir akan terjadinya gangguan atau bahaya oleh pencemaran udara, pencemaran air, atau pencemaran lingkungan seperti yang dipermasalahkan sekarang, karena manusia percaya akan kemampuan sistem alam untuk menanggulanginya secara alamiah (life sustaining system).

Awalnya manusia menganggap akan mampu menyesuaikan diri atas perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan di setiap waktu, tempat dan keadaan tertentu secara evolusi atas dasar terapan ilmu dan teknologi ciptaannya sendiri. Akan tetapi pasca Perang Dunia II kondisi ini mulai dipersoalkan secara serius, pada masa akan memulai membangun kembali teknologinya untuk memerangi kemiskinan setelah perang. Kesadaran bahwa manusia tidak pernah menaklukkan alam muncul setelah berlangsungnya dekade pembangunan (1960-1970). Kebergantungan manusia kepada alam atau kesaling-bergantungan manusia dengan lingkungannya untuk memperoleh keseimbangan, keserasian, keselarasan hidupnya dengan lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum-hukum ekologi (Barry Commoner: 1969).

Lebih jauh dari itu, masalah lingkungan dengan manifestasinya yang paling menonjol adalah pencemaran. Bagi Negara-negara berkembang, hal tersebuh ditambah lagi dengan tekanan penduduk, keterbatasan sumberdaya alam yang tersedia dan akibat sampingan dari penggunaan sumberdaya alamnya. Pencemaran oleh industri yang bersifat toksis, akibat atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irrevisible) serta kerusakan ekologis yang luas dapat mengancam ekosistem bumi sebagai sistem pendukung kehidupan planet bumi.

Seperti halnya Negara-negara berkembang lainnya, bagi Indonesia masalah lingkungan sebagai gangguan terhadap tata kehidupan manusia. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya interaksi antara pertumbuhan penduduk yang besar, peningkatan pemanfaatan sumber daya alam dan peningkatan penggunaan teknologi yang tercermin dalam industrialisasi. Adapun beberapa permasalahan lingkungan dan gambaran penyikapan ditinjau dari berbagai aspek, antara lain :

Pertama : Masalah lingkungan terutama disebabkan oleh perkembangan ilmu. Oleh karena itu harus dikaji dan dipecahkan melalui ilmu pula. Beberapa ahli beranggapan bahwa ilmu telah digunakan untuk mengendalikan alam (the control of nature). Namun pada akhir-akhir ini dipersoalkan tentang tingkat kemampuan kita menguasai ilmu bagi kelangsungan hidup manusia (the development of science for survival).

Kedua, masalah lingkungan disebabkan oleh teknologi yang berkembang dengan cepat. Menurut A. Spilhaus karena sumber masalah pada teknologi maka pemecahan masalahnya dapat dilakukan dengan teknologi pengelola misalnya pengelolan sampah pabrik dengan daur ulang (recycling), memproses kembali (reprocessing) dan menggunakan kembali (reuse) serta membangun industri yang dapat menghemat bahan (materials) ataupun energi.

Ketiga, masalah lingkungan yang dilihat sebagai bagian dari persoalan ekonomi mencari teori ekonomi pula sebagai dasar argumentasinya. Jhon Maddox memberikan argumentasi bahwa masalah lingkungan yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dapat dipecahkan dengan menyediakan pangan dan papan (food and shelter) yang cukup. Pencemaran akan dapat dipecahkan dengan menghitung ongkos-ongkos yang timbul (price). Karena itu, masalah pencemaran adalah persoalan ekonomi, artinya berapa kemampuan kita membayarnya, baik dengan program untuk menciptakan alat pencegah pencemaran (antipollution) maupun secara tidak langsung dengan membayar kerugian yang disebabkan oleh pencemaran.

Keempat, masalah lingkungan dilihat dari filosofinya dengan memperhatikan gejalanya secara mendasar. Dalam hal ini manusia dapat menganalisis cara pandang manusia tentang dirinya dengan orang lain, dengan alam, dengan lingkungan berdasarkan ekosistem yang membimbingnya pada persoalan lingkungan yang diperdebatkan. Lynn White menyatakan bahwa kesalahan manusia yang menimbulkan masalah lingkungan disebabkan oleh cara pandangnya terhadap alam (man’s concept of nature) yang dianggap sebagai sesuatu yang dikuasai untuk dimanfaatkan. Ilmu dan teknologi saja tidak akan dapat memecahkannya sebelum kita memperoleh dasar keagamaan yang memperbaiki cara pandang kita sebelumnya.

Kelima, masalah perubahan prilaku yang mempengaruhi gaya hidup (lifestyle) seseorang. Menurut Barry Weisberg, prasyarat kelangsungan hidup kita adalah transformasi cara hidup yang kita anut (the way in which we live). Ini juga memecahkan masalah rasialis, kemiskinan dan eksploitasi Negara-negara dunia ketiga.
Dalam suatu session kuliah Profesor Adnan Kasry mengemukakan lingkungan hidup manusia tersebut terdiri dari unsur-unsur biotik dan abiotik. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya, tidak hanya ditentukan oleh jenis dan jumlah benda hidup dan mati dari lingkungan alam, melainkan juga oleh kondisi dan sifat benda biotik dan abiotik itu. Selain itu, kekuatan dan tingkat kebudayaan manusia sangat ikut menentukan bentuk dan intensitas interaksi antara manusia dan alam lingkungannya.

Nah, berkaca pada ranah Riau, sejauh mana perhatian dari institusi yang bernama pemerintah mununjukkan political will dan tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan pengelolaan seluruh sumberdaya alam yang tersedia dengan tetap memperhatikan kepedulian dan kelestarian terhadap lingkungan? Pengelolaan hutan, pengelolaan sumber energi berupa minyak, gas ataupun barang-barang tambang lainnya, pengelolaan sungai ataupun tata guna lahan. Ini bisa dikaji dari Master Plan pembangunan Propinsi Riau disinkronkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi dan Kabupaten/Kota Propinsi Riau. Adakah yang tidak beres? Mengapa berbagai bencana seperti banjir seakan sudah menjadi sahabat karib yang senantiasa rutin bersilaturahmi dengan masyarakat di Propinsi Riau setiap tahunnya? Adakah yang memelihara?

Kembali pada penggalan deklarasi yang disampaikan oleh Kranak, secara filosofis tersirat jelas konsep “local wisdom” (kearifan lokal) dari masyarakat adat dalam upaya pelestarian lingkungan alam. Bagaimana kemudian Propinsi Riau melalui Pemerintah menetapkan aturan dengan tidak mengabaikan konsep-konsep kearifan dalam tatanan kehidupan masyarakat lokal tersebut? Hal ini akan terlihat jelas dari kebijaksanaan pemerintah menghargai keberadaan hak ulayat dari masyarakat adat atau bahkan bisa dilihat dari seberapa penting keberadaan masyarakat adat dipandang dalam tataran konsep pengelolaan alam. Sehingga ketika mungkin ada adopsi aturan bercermin dari hukum-hukum adat yang berlandas kearifan tersebut.

Akankah setiap tahun propinsi Riau akan menikmati persahabatan dengan berbagai bencana yang terjadi? Akankah hutan-hutan dibiarkan disulap menjadi kawasan industri dan lahan pemukiman baru? Akankah pengelolaan sumberdaya alam (tambang, minyak dan gas) akan terus dikelola tanpa arah yang jelas dengan mengabaikan konsep pengelolaan lahan-lahan bekas lokasi pertambangan seperti yang terjadi di Dabo Singkep Kepulauan Riau? Bukan pada konteks mencari siapa yang salah, tapi mari sama-sama kita berupaya menunjukkan siapa yang peduli. Setidaknya dimulai dari individu-individu kita dalam lingkungan keluarga sebagai komunitas sosial sederhana. Untuk kemudian belajar memahami secara bijaksana kondisi alam dan lingkungan yang semakin merisaukan ini. Semua berharap Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April ini tidak semata sebagai konsep yang semata menjadi moment tanpa aksi nyata.

Menjadi perenungan mendalam ketika Rene Dubos mengemukakan dalam bukunya Only One Earth : “Man inhabits two worlds. One is the natural world of plants and animal, of soil and airs and waters which proceeded him by billions of years and of which he is a part. The other is the world of social institutions and artifacts he builds for himself, using his tools and engines, his science and his dreams to fashion an environment abedient to human purposes and direction”.

Adakah kita peduli… Ingat hanya satu bumi…!!! Save Our Earth…!!!

(Arsip : Bieb, diterbitkan di Harian Umum Riau Mandiri April 2009)

Tidak ada komentar: