Minggu, 16 Agustus 2009

“Selamatkan Bangsa dari Budaya Premanisme”


Oleh
Handiro Efriawan

Fenomena nyata dalam masyarakat ketika kerakusan, cinta diri menjadi pola kehidupan, dan penghormatan kepada kebenaran lebih didasarkan pada materi dan kekuasaan yang kesemuanya ini berorientasi pada paradigma pragmatis. Kondisi ini akan memunculkan situasi di mana orang lain bukan lagi dianggap sebagai “kawan” atau “saudara”, melainkan “musuh”. Keadaan ini akan melahirkan apa yang disebut Plato sebagai homo homini lupus atau yang disebut oleh Thomas Hobbes sebagai "Man is a wolf to man" (manusia merupakan serigala bagi sesamanya). Kebiasaan-kebiasaan yang semakin membudaya dalam peradaban manusia ini lebih akrab dengan istilah premanisme.

Konon kabarnya di Indonesia sendiri premanisme sudah ada sejak jaman penjajahan, dimana selain bertindak sendiri, juga telah memanfaatkan beberapa jagoan lokal untuk melakukan tindakan-tindakan seperti perampasan, pemalakan, pemerasan, dan banyak lagi tindakan menzolimi masyarakat. Munculnya premanisme setidaknya dilandasi oleh adanya budaya yang cenderung anti terhadap perbedaan yang dianggap sebagai tindakan offensif dan berkembangnya apresiasi terhadap premanisme sehingga secara tidak sadar cenderung sudah dilembagakan (institusionalisasi) oleh masyarakat.

Sikap tegas yang telah diupayakan oleh Mabes Polri dengan menginstruksikan penanggulangan terhadap preman yang meresahkan masyarakat selama ini merupakan angin segar bagi masyarakat, karena kondisi ini dinilai akan menjadi harapan bagi perwujudan kehidupan masyarakat yang lebih aman, tenang dan damai (dinamis) tanpa adanya tekanan atau intimidasi dari orang atau sekelompok orang yang kemudian melembagakan diri secara formal maupun non formal menjadi barisan “para centeng”.

Harapan masyarakat tentunya Polri tidak hanya mampu melumpuhkan budaya intimidasi yang dilakukan oleh para preman kelas teri yang berkeliaran di jalanan. Tetapi lebih dari itu, secara perlahan hendaknya mampu memutus rantai regenerasi premanisme yang mulai menjalar pada wilayah pemerintahan (birokrasi). Betapa tidak, di Propinsi Riau sendiri realita menunjukkan bahwa para preman telah mampu menguasai setiap tender proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah, yang akhirnya mematikan peranan dari kalangan profesional yang seharusnya lebih berhak menata hasil perencanaan yang memiliki kualitas, bukan sekedar formalitas pelaksanaan proyek semata.

Harus diakui juga bahwa ada sekelompok orang yang selalu mengandalkan otot ini untuk melakukan backing terhadap berbagai tempat-tempat yang menjadi sumber penyakit masyarakat yang dikhawatirkan apabila tidak segera diambil tindakan prefentif akan melemahkan mental generasi unggul harapan bangsa ini. Selain itu, premanisme yang ada selama ini telah turut menghambat investasi dan melemahkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, karena secara berkala, sistematis dan terorganisir selalu meminta setoran dengan dalih “uang kemanan”. Padahal masyarakat dan pelaku usaha justru merasa tidak aman dengan sikap yang sering mereka munculkan tersebut.

Oleh karena itu, selain pemberlakuan tindakan prefentif yang mendidik hendaknya harus ada upaya penyusunan peraturan perundangan yang mampu menyingkirkan para preman yang mencoba masuk dalam sistem pemerintahan, baik melalui koncoisme dengan para penguasa (sebagai backing/body guard) ataupun yang semakin berani masuk kedalam sistem pemerintahan melalui partai politik. Sekarang tinggal menunggu keberanian kita semua sebagai bagian dari masyarakat untuk secara bersama-sama mendukung program yang sedang marak dikempanyekan oleh Kepolisian Republik Indonesia saat ini. “Selamatkan Bangsa dari Budaya Premanisme”

(Arsip : Bieb, 11/08 diterbitkan di Harian Umum Riau Mandiri)

Tidak ada komentar: