Senin, 17 Agustus 2009

Fungsi Gurun bagi Iklim Global


Sejak beberapa dekade terakhir ini, organisasi PBB untuk memerangi penggurunan, terus berusaha keras untuk mencegah meluasnya gurun pasir. Sejauh ini manusia melihat gurun pasir sebagai ancaman ekologi. Bukannya sebagai kesatuan ekologi global. Keberadaan gurun pasir, seperti juga kutub utara dan selatan, terbukti menciptakan sistem cuaca dan iklim global. Jika tidak ada gurun Sahara di Afrika, maka Eropa tidak akan mengalami musim panas. Jika tidak ada gurun Gobi di Cina, tidak akan ada kawasan subur di Korea dan Amerika Utara. Gurun dan kutub, dua ekosistem alam yang sifatnya berlawanan, ternyata menjadi mesin iklim raksasa bagi Bumi.

Sekitar 170 tahun lalu, pencetus teori evolusi, Charles Darwin melaporkan hujan debu pasir di kawasan Cape Verde, antara benua Afrika dan Amerika. Pada saat itu, Darwin berada di atas kapal penelitian Inggris, Beagle, yang berlayar ratusan kilometer dari benua Afrika. Juga kapal-kapal lainnya, yang sedang berlayar, bahkan ribuan kilometer dari Afrika melaporkan fenomena yang sama. Sekarang pada ahli merasa tertarik dengan fenomena yang dilaporkan Darwin 170 tahun lalu. Penelitian menunjukan, debu pasir dari kawasan gurun ternyata membentuk ekosistem global dan mempengaruhi keberadaan makhluk hidup.

Pengamatan satelit menunjukan terjadinya pergerakan debu gurun secara global. Setiap tahunnya, sekitar dua milyar ton debu gurun berpindah tempat melalui atmosfir Bumi. Misalnya saja debu pasir dari gurun Sahara di Afrika, bergerak sampai ke kepulauan Karibia dan Amerika Selatan. Dalam waktu hanya sepekan, debu pasir berukuran sepeseribu milimeter dari Sahara dapat mencapai Karibia. Para ahli memperkirakan, hampir seluruh lapisan tanah subur di Karibia berasal dari gurun Sahara. Sementara debu pasir dari gurun Gobi di Cina bergerak sampai ke Amerika Utara dan dari kawasan Sahel di Afrika bergerak sampai Eropa tengah.

Tentu saja pergerakan debu pasir gurun ini berdampak positif dan negatif. Debu pasir gurun sahara yang jatuh di kawasan hutan Amazon, menjadi medium subur bagi tanaman efifit seperti misalnya Bromelia. Setiap tahunnya, sekitar 17 juta ton debu pasir dari gurun Sahara jatuh di kawasan rimba tropis Amazon di Amerika Selatan. Debu pasir gurun ini kaya akan mineral, bahan makanan, bibit tanaman dan juga sisa bangkai binatang. Juga debu pasir dari gurun Gobi di Cina memiliki fungsi serupa bagi flora dan fauna di kepulauan Hawaii.

Selain membuat subur tanah, terbukti pula tanaman asing yang dibawa debu gurun dapat mematikan flora dan fauna lokal. Misalnya saja kematian terumbu karang dalam skala luas di kawasan Karibia disebabkan oleh debu gurun ini. Gene Shinn dari lembaga penelitian geologi AS-USGS, menarik kesimpulan tsb setelah melakukan penelitian cukup lama. USGS sudah meneliti fenomena musnahnya terumbu karang di Karibia sejak 40 tahun lalu. Yang membuat mereka heran, adalah kemusnahan terumbu karang yang hampir bersamaan di Karibia, Barbados dan Florida. Yang juga menarik, landak laut ikut musnah hampir secara bersamaan. Artinya, ada penyebab global dan bukannya bencana lokal.

Penelitian lebih lanjut menunjukan, musnahnya terumbu karang dan landak laut terjadi hampir serentak mulai tahun 1983. Penyebabnya sama, yakni akibat serangan sejenis jamur racun, yang berasal dari Afrika. Biasanya jamur racun ini tidak dapat hidup di dalam laut. Akan tetapi penelitian menggunakan citra satelit menunjukan, pada tahun 1983, 1987 dan 1993 volume debu pasir gurun yang bergerak ke seluruh dunia meningkat hampir tiga kali lipat. Akibat volume yang cukup besar itulah, jamur racun masih tetap hidup dalam sedimen pasir gurun di laut dan menyerang terumbu karang.

Pakar mikrobiologi dari USGS, Dale Griffin juga melakukan penelitian bahaya debu pasir gurun itu terhadap kesehatan manusia. Disebutkannya, sejak 15 tahun terakhir ini, debu dari gurun pasir menjadi lebih berbahaya akibat aktivitas manusia. Dahulu, debu gurun hanya terdiri dari mineral, unsur makanan bagi tumbuhan, sisa bangkai binatang dan tanaman. Namun dalam dasawarsa terakhir, debu gurun juga mengandung bahan berbahaya Dioxin. Penyebabnya adalah aktivitas manusia di kawasan gurun, yang mengikuti cara hidup modern dan memproduki cukup banyak sampah plastik. Untuk memusnahkan sampah plastik ini, mereka membakarnya tanpa menyadari bahaya Dioxin yang muncul.

Juga masih diizinkannya penggunaan racun anti hama DDT di sebagian Afrika dan Asia, menyebabkan pergerakan cemaran DDT ke seluruh dunia. Jika terjadi serangan belalang atau hama lainnya di Afrika atau Asia, kebanyakan pemerintahnya masih mengizinkan penggunaan DDT, untuk membasmi hama. Walaupun di AS, Kanada dan Eropa barat DDT sudah dilarang, namun sisa pestisida berbahaya ini masih dapat dilacak. Debu gurun lah yang membawanya ke kawasan ini. Ibaratnya melempar bumerang, warga dan industri di AS dan Eropa terkena dampak baliknya.

Jadi bagaikan pisau bermata dua, debu pasir dari gurun di dunia, dapat berdampak positif maupun negatif. Bagi tanaman di rimba tropis Amazona atau di hutan kutub Kanada, debu gurun pasir yang kaya mineral dan unsur makanan, membuat hutan bertambah subur. Namun juga tanaman ganggang pengganggu di kawasan pantai barat Florida, mendapat berkah dari debu gurun pasir yang kaya mineral. Ganggang beracun berkembang biak amat pesat. Sebagai dampaknya, ganggang atau plankton makanan ikan dan mamalia laut musnah. Terakhir ikan, burung dan mamalia laut yang cukup besar juga musnah, akibat musnahnya makanan mereka. Hal itu menunjukan, ekosistem dunia memang harus dipahami secara global, agar kita juga mengerti dampak timbal baliknya secara global.

Tidak ada komentar: