Minggu, 16 Agustus 2009

"MASIHKAH KITA INDONESIA...!!!???!!!"


Sejarah kehidupan terus bergulir seiring waktu yang menabrak stagnasi kondisi, berkait kelindang merajut serpihan-serpihan fatamorgana menjadi helaian realita kehidupan. Begitu pun perjalanan berbagai suku bangsa yang kemudian terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah (nation state), akan terus berjalan menggapai eksistensinya ataukah bangunan kemegahannya tersebut perlahan akan merapuh menjadi kepingan-kepingan kepentingan dari individu-individu yang bernaung di dalamnya.

1908 ketika negeri ini belum bernama sempurna, semangat kebersamaan dalam kepemilikan visi untuk saling memberikan makna kehidupan tercermin dari keihlasan untuk menyerahkan segala potensi yang dimiliki secara individu ataupun kelompok-kelompok dengan meredupkan kasta-kasta yang ada. Harta, tahta, jiwa dan raga pun menjadi pilihan sebagai taruhan untuk sekedar memenangkan “Kemerdekaan” secara substantif.

Pada tahun 1908, Di kampus Stovia Jakarta, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Dr. Goenawan dan Soewardi Soerjodiningrat yang memiliki kesadaran dan menggagas permulaan kebangkitan nasional kita adalah gagasan mengenai ‘siapa diri kita seharusnya ?’ dan bagaimana mewujudkan gagasan tersebut dalam praksis. Karena gagasan tersebut muncul dari ‘rahim pemikiran’ mereka, maka tak mengherankan jika kemudian mereka menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional. Gagasan yang mereka lahirkan bukanlah gagasan ‘pepesan kosong’, yang melayang-layang di luar kesadaran bangsa ini, melainkan keinginan nyata yang ada di setiap benak bangsa kita. Apa yang mereka suarakan adalah mengartikulasikan keinginan atau cita-cita kita semua.

1928 kemudian berhimpun para pemuda dari berbagai daerah/wilayah/pulau, beragam suku, adat istiadat, agama, bahasa dan budaya mengikrarkan janji dan sumpah melalui deklarasi kebangsaan ketika itu. Kesatuan bahasa, kesatuan bangsa, kesatuan tanah air menjadi suatu keharusan yang mesti diwujudkan. Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917), Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul Ulama. kesatuan rasa, kesatuan cita-cita atas nama kebersamaan sebagai pewaris bangsa. Indonesia kemudian menjadi nama keagungan yang terukir dalam sejarah kehidupan masyarakat dunia.

Kesadaran sebagai sebuah bangsa mencapai puncaknya pada tahun 1928, dengan bersatunya berbagai organisasi kebangsaan, terutama organanisasi kepemudaan, untuk mewujudkan gerakan kebangsaan yang eskalasinya lebih besar dan menyeluruh melalui Sumpah Pemuda : Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa ….Indonesia. Gerakan pemuda pada tahun 1908 dan 1928 merupakan titik penting bagi gerakan Kebangkitan Nasional Indonesia.

Sejak saat itu, kesadaran dan rasa nasionalisme terus bertumbuh dan menjalar di setiap sudut penjuru tanah air. Dan semangat nasionalisme tersebut mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945 ketika bangsa ini berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Kemudian, dalam perjalanan sejarah berikutnya, dengan berbekal rasa nasionalisme yang tinggi, kita berhasil mempertahankan kemerdekaan itu.
Jika kita balik lagi ke situasi Indonesia kontemporer, timbul pertanyaan : Apa yang sekarang diimpikan secara riil oleh segenap lapisan bangsa kita ? Barangkali ide dasar para cendekia di atas perlu direaktualisaikan. Apakah saat ini sudah merdeka ? Apakah sebagai sebuah bangsa, kita memiliki kemandirian untuk menentukan jalan hidup kita sendiri ? Jika kita merasa belum merdeka, dalam hal apa kita sekarang terjajah ? Lalu, strategi apa yang harus digunakan untuk melepaskan diri dari keterjajahan tersebut ?

Pada tahun 1945 deklarasi nasional, kemerdekaan Indonesia menjadi suatu kemutlakan yang harus diwujudkan. Azas, visi dan ideologi kebangsaan menjadi rumusan yang kemudian senantiasa digelorakan, menembus ruang dan waktu. Meninggalkan Bendera Merah-Putih, Garuda Pancasila, Lagu Indonesia Raya sebagai simbol-simbol berkeyakinan sebagai anak bangsa. Idealita menjadi rumusan konsep yang hingga hari ini tak terbantahkan indahnya.

Realita kemudian membuai anak-anak bangsa dalam abstraksi mimpi, saling menghakimi, saling menyingkirkan, saling menindas, saling membunuh yang bermuara pada tergerusnya nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai kemenyatuan. Kasta-kasta kembali dimunculkan, tahta-tahta kembali diukir indah, istana-istana kembali dibangun megah menjadi dinding pemisah diantara anak bangsa.

Sebelas tahun yang lalu, menjadi rangkaian sejarah bagi mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia. Kenangan yang mungkin tidak akan terlupakan bagi segenap komponen bangsa ini, karena di tahun itulah bangsa ini dapat keluar dari masa rezim tirani yang mengoligarki tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Ekonomi kita diintervensi asing, eksploitasi sumberdaya alam untuk kepentingan golongan, pelanggaran HAM merajalela, korupsi, krisis moneter, dan banyak multiplier effect lain yang terjadi sebagai akibat dari lemahnya keberpihakan pemimpin kepada rakyat. Semangat perubahan menjadi teriakan lantang bagi segenap yang bosan akan ketertindasan.


Dimanakah sesungguhnya indonesia itu ?....

Negara macam apakah ini?
Siapa yang memilikinya?
Siapa yang mengaturnya?
Apa yang tengah terjadi?

Demikian kegeraman Arundhati Roy tentang negara yang mencatatnya sebagai warga, karena terlantarnya jutaan orang yang harus menjadi pengungsi di tanah kelahirannya sendiri oleh satu perang yang tak diakui. Perang yang mengatasnamankan kepentingan umum, kemajuan dan pembangunan nasional (The Cost of Living, 1999). Demikian pun dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak sedikit warga yang melakukan interupsi yang sama. Beberapa diantaranya, bahkan merobek merah putih dari teritorinya.

Indonesia itu apa atau siapa?
Kalau kita jujur, keluhan yang menumbuhkan berbagai rasa sakit, juga dendam ini, sukar dijawab secara jelas karena banyaknya deviasi, anomali dan abnormalitas dalam hidup sebagai masyarakat bangsa. Sebuah situasi –yang bisa jadi– berarti; kemerdekaan dari yang telah diraih, bergerak tidak linier dengan kemerdekaan untuk.
Alih-alih memikirkan globalisasi yang menuntut keunggulan kompetitif, elemen dasar negara (politik, ekonomi, hukum, budaya dan pertahanan keamanan), masih digelayuti benalu yang terus menerus menghisap potensi kenyamanan kita sebagai masyarakat bangsa. Maka interogasi kritis terhadap Indonesia, mesti dilakukan untuk menghindarkan penemuan luka yang lebih menyakitkan.

Proses ini dibutuhkan untuk mengetahui lebih dalam apa yang disebut Indonesia sekaligus mengurai benang kusut di dalamnya. Sekalipun tidak dapat disangkal bahwa reformasi telah memberikan perubahan, mulai dari desentralisasi kekuasaan, luasnya gelaran tikar demokrasi, hingga rakyat berhak menentukan secara langsung pemimpinnya.

Tapi proses pendemokrasian demokrasi itu, hanya memukau secara suram. Sehingga tujuan lebih subtantif dari demokrasi, yakni kesejahteraan umum sulit diterjemahkan, karena yang tersedia di dalamnya jauh dari lengkap dan sempurna. Bahkan untuk sebagian justru tidak koheren, tidak cocok dan tidak saling menopang. Konsekuensinya, tidak sedikit yang menyebutnya demokrasi kondom. Semuanya dapat disalurkan, untuk kemudian –sebatas– ditampung pemerintah. Juga, “demokrasi malam”, karena penuh gemerlap, manipulasi dan kompromi. Bahkan kenyataan lainnya, berperan besar meningkatkan konflik. Sudah berapa juta jiwa yang melayang dalam kerusuhan sosial, perang antar agama dan suku, selama apa yang disebut demokrasi itu bergulir?

Menjahit lubang Merah Putih
Memang, masih banyak lubang pada Merah Putih yang perlu dijahit! Angka pengangguran terbuka dan kemiskinan mencapai 10,55 juta dan 37,17 juta orang di tahun 2007. Versi Bank Dunia, garis kemiskinan 49% dari jumlah total penduduk atau 109 juta. Angka-angka ini merupakan peringatan serius terhadap kemampuan negara dalam mengelola kesejahteraan bagi rakyatnya. Lantas, bagaimanakah cara anak-anak Indonesia yang mencapai dua juta jiwa, yang harus bertahan hidup sebagai gelandangan, pengemis dan pemulung, membayangkan masa depan? Sementara sekolah-sekolah untuk mereka bertumbuhan menjadi mesin kapitalisme baru, dan lapangan kerja, hanya terbuka bagi orang-orang yang terampil dan berpengalaman? Situasi mencemaskan inilah yang membuat Eko Prasetyo beberapa tahun lalu meradang; Orang Miskin Dilarang Sekolah, juga Dilarang Sakit. Ironi ini, juga digambarkan dengan baik dalam Film Denias Senandung di Atas Awan. Ini bukan Jawa, kata bapak Denias. Ia marah, dalam lukanya sebagai orang miskin, terbelakang dan tidak berpendidikan. Bapak Denias –ilustrasi dari rakyat kebanyakan– marah, karena haknya untuk hidup layak disabotase. Namun, sistem berpihak tidak pada kejujuran dan kemanusiaan. Tapi pada kekuasaan. Maka tidak berlebihan mengutip kalimat Ronal Reagan bahwa, pemerintah bukanlah solusi untuk persoalan kita. Tapi pemerintah adalah persoalan itu sendiri.

Pada konteks inilah, tidak salah bila kita kembali membaca secermat mungkin hasil studi Gullermo Odonnell dan Philippe Schmitter dalam melihat transisi demokrasi (Transition from Authoritarian Rule; Tentative Conclusion About Uncertain Democracies, 1986). Bahwa transisi dari rezim otoriter tidak selalu dan tidak selamanya menuju konsolidasi demokrasi, melainkan sangat mungkin bergerak ke arah lain yang belum jelas, bisa jadi berupa ditegakkannya demokrasi politik atau justru dipulihkannya kembali suatu bentuk pemerintahan otoritarian baru yang mungkin lebih kejam daripada sebelumnya. Atau, dapat pula sekedar rotasi kekuasaan dari pemerintahan yang silih berganti namun gagal memberikan solusi yang mapan dan dapat diprediksi terhadap masalah pelembagaan kekuasaan politik. Fakta atas adanya bara dalam sekam yang terus menyala dan menjalar di bawah struktur politik formal, sebagaimana dipaparkan di atas, tidakkah cukup menegaskan gerak lain itu?


Menjernihkan Indonesia
Sengkarut dalam narasi besar Indonesia di atas, nyaris tidak bertitik cerah, kecuali angka-angka pertumbuhan dan statistik yang berkemungkinan besar menyimpan dusta. Indikasi tersebut, pernah dipaparkan oleh Huff (1954) dalam bukunya tentang Bagaimana Statistik Dapat Digunakan Untuk Melakukan Kebohongan Dan Menjustifikasi Vested Interest. Gambaran ini, tentu bukan Indonesia yang kita inginkan, untuk diri kita maupun generasi setelah kita. Pertanyaannya, apakah yang seharusnya kita lakukan dengan semua ini?

Hemat penulis, sesungguhnya kita memiliki kemampuan serta sumber daya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Sebuah masa depan negara yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat. Yang menghalangi kita dari membentuk masa depan semacam itu bukanlah mangkirnya gagasan-gagasan yang baik. Namun mangkirnya komitmen nasional untuk mengambil langkah-langkah kuat yang penting untuk menjadikan Indonesia lebih makmur dan kompetitif. Untuk itulah, dibutuhkan konsensus baru perilah menjernihkan proses menyejarah secara kolektif sebagai sebuah Indonesia. Karena proses menjadi Indonesia yang disebut nation and state building bukan sekedar perkara mengada sebagai satu teritori yang disebut negara.

Pertanyaan-pertanyaan di atas seharusnya menjadi bahan renungan para elit kita saat ini. Selanjutnya, mereka juga harus mampu ‘menggebrak’ kesadaran seluruh elemen bangsa untuk segera bangkit sebagai bangsa yang mandiri; sebagai bangsa yang tidak dijajah oleh bangsa lain; dan sebagai bangsa yang memiliki kebebasan untuk mengatur jalan nasibnya sendiri. Harus ada gerakan Reorientasi Indonesia yang menitik beratkan kepada tujuan awal terbentuknya negara kesatuan republik indonesia dengan satu tujan,satu nusa,bahasa dan satu tanah air indonesia yang merdeka dari seluruh bentuk-bentuk penjajahan baik dari bangsa asing maupun penjajahan oleh bangsa sendiri,dan harapan kita selaku anak bangsa dapat berperan aktif di berbagai bidang dan secara aktif memberikan konstributf dalam menyumbangkan pemikiranya demi pembangunan bangsa.

Kemudian tugas para elit dan guru-guru bangsa harus memanage nation, mereka juga harus sebagai pendidik. Mereka harus terus menerus melakukan pendidikan dan penyadaran ke segenap komponen bangsa secara terus menerus dan berkesinambungan akan jati diri sebagai sebuah bangsa. Ini bisa dilakukan jika para elit itu tidak lagi sekadar berebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan sangat rentan menyebabkan terjadinya konflik-konflik yang tidak perlu yang berakibat merongrong kesatuan dan persatuan bangsa. Keruntuhan kesatuan dan persatuan akan menjadikan bangsa ini semakin tidak berdaya menghadapi intervensi bangsa lain.

Tidak ada komentar: