Oleh
Handiro Efriawan
Para Philosophia telah memberikan pengajaran tafsir fikir yang tak berkesudahan, hingga mampu melahirkan goresan karya dalam catatan sejarah umat manusia. Sebut saja diantaranya Zeno Elea (490–430 SM), Demokreitos (460–370 SM), Socrates (470-399 SM), Al-Kindi (801-873 M), Al-Ghazali ath-Thusi (1058–1111 M), Ibnu Rusyid (1126-1198 M), Jalaluddin Rumi (+ 1207 M), Desiderius Erasmus (1466–1536 M), RenĂ© Descartes (1596-1650 M), Von Leibniz (1646–1716 M), Jean-Jacques Rousseau (1712– 1778 M), Denis Diderot (1713 M - 1784 M), Immanuel Kant (1724 M - 1804 M), Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844–1900 M), Paul Johannes Tillich (1886 –1965 M), Rabindranath Tagore (1861–1941 M), Simone de Beauvoir (1908-1986 M), Ahmad Wahib (1942–1973 M), Albert Camus (1913–1960 M), Paul-Michel Foucault (1926–1984 M), Jacques Derrida (1930-2004 M) atau Buya Hamka (1908-1981) yang telah menitipkan warisan makna dan masih dipelajari hingga saat ini. Pendekatan filosofis positif menjadi metode tafsir yang selalu memberikan kekaguman-kekaguman, karena mempermudah subjek memahami objek yang dijadikan bahan kajian.
Dalam ranah politik, teramat banyak kondisi yang secara bijaksana bisa kita pelajari melalui pendekatan filosofis. Setidaknya melalui tulisan ini, kita mencoba melakukan kajian untuk mendedah fenomena objektif yang melingkupi aktifitas politik kekinian. Mengapa aktifitas politik? Ya, setidaknya karena memang tahun ini disepakati atau tidak, telah dinisbatkan menjadi “Tahun Politik” bagi Indonesia dan kemudian akan melahirkan para “Tuhan Politik”, yang memiliki kuasa untuk mendesain kehidupan masyarakat sebagai “Hamba Politik”.
Lantas apa korelasi yang kemudian menjadikan Kerupuk bisa bertahta pada singgasana politik ini? Bukankah kerupuk hanyalah sejenis makanan ringan yang biasa dilahap bersama hidangan. Bisa dikatakan bahwa kalaupun tidak di seluruh jagad kehidupan, setidaknya di Indonesia, kerupuk sudah pernah dinikmati oleh masyarakat dari strata dan kasta manapun, baik yang memiliki kekayaan melimpah maupun yang memiliki keterbatasan finansial, yang telah menikmati sekolah ataupun yang tidak berkesempatan untuk itu, para pemuka ataupun orang yang terabaikan dalam masyarakat.
Walaupun diyakini belum pernah ada riset yang mengkalkulasikannya menjadi data-data empiris dan menghantar seseorang menjadi Profesor karenanya. Sungguh, tulisan ini tak pula hendak merekomendasikan pada generasi yang terlahir fitrah dari rahim bangsa yang katanya nan elok ini, untuk bersaing mengejar gelar “Profesor Kerupuk” tersebut. Namun tak pula hendak menghakimi orang-orang aneh yang terinspirasi merealisasikan ide nyeleneh ini. Aneh memang bagi sebagian kita masyarakat awam yang selama ini berfikir praktis (instant).
Fenomena hari ini, waktu menjadi bangunan dinding sejarah yang telah dipahat menjadi ukiran-ukiran takdir yang diciptakan oleh manusia Indonesia yang terhimpun dalam Daftar Calon Wakil “Rakyat”, yang katanya merupakan bagian dari masyarakat dan akan bertungkus-lumus meletakkan hak-hak sosial pada tempat sewajarnya. Bak jamur dimusim hujan, subur bertumbuhan. Diawal banyak yang tumbuh dalam bara api, walau kemudian tak sedikit yang meredup bak pelita tak berminyak.
Kerupuk Politik memiliki filosofi aktifitas yang ketika masa penggorengan mengembang elok, tampak gurih, terasa memberi semangat, apalagi dibungkus dalam kemasan yang elegant semakin menarik minat untuk dicicipi. Akan tetapi ketika telah melintasi zaman, menikmati masa dalam belaian angin, melempem tak memberi gairah. Lebih parah ketika telah menggigil tersiram air, lapuk, menjijikkan, menghilangkan nafsu makan masyarakat.
Sesungguhnya masyarakat tak pula hendak membatasi niat para “mania politik” yang sedang dikarantina dalam arena “audisi politik” ini untuk kemudian mengekspresikan imajinasi harapannya untuk melakukan perubahan dalam aktifitas sosial, terlebih dalam alam yang sudah semakin kebablasan ini. Akan tetapi tafsir futuristik harus mengedepankan proporsionalitas dalam menimbang lahan kehidupan yang akan digarap menjadi media pengabdian. Ada takaran yang juga harus menjadi bahan renungan, sehingga tetap mampu menterjemahkan peran, fungsi dan tanggung-jawabnya sebagai bagian dari masyarakat. Menjadi catatan penting bahwa prestise dalam kehidupan tidak hanya bisa direngkuh melalui media election ini, akan tetapi prestasilah yang kemudian akan menempatkan seseorang menjadi raja yang berkuasa pada istananya.
Selain itu harus dipahami bahwa kekuasaan sendiri merupakan konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh (influence), persuasi (persuasion), manipulasi (manipulation), koersi (coersion), kekuatan (force) dan kewenangan (authority). Jadi, dalam ranah manapun setiap orang memiliki peluang untuk memiliki kekuasaan sesuai dengan kapasitasnya. Bukankah kekuasaan tersebut merupakan kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah lakunya sesuai dengan keinginan dan tujuan dari pemilik kekuasaan itu? Sungguh dunia tak berharap semua orang menjadi duplikasi dari Fir’aun, Jengis Khan, Xu Kluk Klan ataupun Hitler. Tetapi sangat menantikan terlahirnya duplikasi Muhammad Saw., Pythagoras, Archimedes, Ibnu Sina (Avicenna), Albert Einstein, Thomas Alfa Edison ataupun Yuri Gagarin.
“Zoon Politicon” mungkin menjadi substansi yang menginspirasi sebagian besar dari para calon legislator untuk “berjudi” mempertaruhkan segala potensi yang dimiliki. Atau mungkin termotivasi oleh warisan fikir dari Harold D Lasswell yang menyatakan bahwa politik sebagai perkara “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana”. Esensinya adalah konflik, karena politik dinilai sebagai upaya untuk mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan, sehingga rentan dengan terjadinya konflik. Padahal menurut Joyce Mitchell konsekuensi dari politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya, yang bermakna penunaian pengabdian kepada masyarakat. Bukan sebagai wahana untuk untuk mencari tahta persemanyaman ataupun menguasai mata air yang akan terus mengalir memenuhi kebutuhan kehidupan.
Fenomena nyata bahwa dalam banyak kasus yang terjadi selama ini, politik sering dipraktekkan sebagai arena atau alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, sehingga tidak mengherankan jika muncul istilah “Politic is Corrupt” yang bermakna bahwa politik sebagai sesuatu yang “kotor” dan identik dengan “menghalalkan segala cara”. Dalam suatu sistem yang beradab, seharusnya politik mempunyai makna dan dipraktikkan secara positif dan rasional. Sebab dalam sistem ini politik diterjemahkan sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses sosial yang adil dan manusiawi. Fakta yang terlihat di negara Indonesia selama ini yang dikenal sebagai negara yang demokratis, pelaksanaan politik tersebut justru cenderung bermuara pada “dinasti” tertentu yang disertai dengan kesejahteraan parsial, bukannya kesejahteraan atas seluruh warga negara.
Saatnya dilakukan perubahan paradigma dari seluruh anak bangsa yang penat dengan kondisi bangsa yang sedang porak-poranda ini dan merindukan kehidupan masyarakat yang madani, bahwa kehidupan tidak hanya berorientasi pada penguasaan terhadap orang atau wilayah tertentu dalam konteks politik praktis. Akan tetapi, bagaimana kemudian mampu meningkatkan kompetensi untuk mengabdikan diri dalam ranah profesional, senantiasa termotivasi untuk meng-up grade life skill, menghasilkan suatu karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat. Yakinlah bahwa kekuasaan memiliki batasan dan masyarakat sudah jenuh dengan rancangan program melangit yang setiap masa “perhelatan” ditawarkan oleh para “wakil” rakyat yang katanya merakyat itu, akan tetapi melupakan substansi yang diharapkan masyarakat untuk dapat bertahan hidup secara layak dan memiliki fasilitas yang menunjang untuk berinovasi secara kreatif.
Selain itu, khusus untuk para calon legislator harus ada perubahan mindset
bahwa politik bukan lagi berorientasi pada kekuasaan akan tetapi lebih mengarah kepada ranah pengabdian sebagai upaya pemulihan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, yang menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), bukan pada pencapaian tujuan-tujuan pribadi/kelompok (private goals) sehingga pencapaian kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan secara komprehensif.
Catatan akhir dari tulisan ini, hendaknya para calon legislator yang memasuki arena “pagelaran” segera melakukan evaluasi diri, jangan sampai menjadi “Kerupuk Politik” yang menjadi rebutan ketika masih garing dalam bungkusan yang elegant akan tetapi tercampakkan ketika tak lagi berpotensi “menyuguhkan gairah”. Hendaklah senantiasa berfikir untuk menjadi embun penyejuk bagi masyarakat. Wallahu’alam…
(Arsip : Bieb, diterbitkan di Harian Umum Riau Mandiri Maret 2009)
Minggu, 16 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar