Minggu, 16 Agustus 2009

Menanti Komitmen Usang

Oleh
Handiro Efriawan



Fenomena nyata, politik kepentingan global berdampak pada stabilitas politik nasional Indonesia. Sehingga berbagai kebijakan strategis yang ditetapkan oleh pemerintah seakan “di-stir” (dikendalikan) oleh kekuatan asing, yang berdampak pada runtuhnya marwah kebangsaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Kondisi ini semakin diperparah oleh upaya penegakan hukum yang sangat lemah, akibat moralitas yang justru dikebiri oleh kepentingan oknum penegak hukum itu sendiri.

Realita menunjukkan peningkatan kasus pelanggaran hukum beberapa saat mengemuka akan tetapi beberapa saat kemudian dibiarkan menguap atau sengaja diendapkan. Ini juga terjadi pada beberapa kasus di Riau, seperti kasus korupsi (831 kasus dari tahun 2002-2008) dan illegal logging (pembalakan liar) yang sekian lama terendap, ketika mengemuka ternyata upaya penegakan hukum tidak mampu menjerat “aktor utama”nya.

Bahkan yang lebih mengiris perasaan masyarakat adalah dengan dikeluarkannya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) terhadap 13 perusahaan yang tersandung kasus illegal logging, yang berarti menafikkan terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan di Propinsi Riau. Padahal dalam rentang waktu 5 tahun (2002-2007) Propinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 1,044,044 juta hektar dan menempatkan bencana banjir menjadi ritual tahunan yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah.

Ini menunjukkan lemahnya penegakan supremasi hukum, yang cenderung masih tebang pilih sehingga yang berkembang di masyarakat bahwa telah terjadi konspirasi antara penguasa dan pemilik modal perlu menjadi perhatian serius. Karena dampak nyata kerugian (lingkungan) dibebankan kepada masyarakat. Bencana yang terjadi berulang pada setiap tahunnya merupakan “catatan takdir” bagi masyarakat kecil, yang semakin dimiskinkan dari kemiskinannya, yang semakin dibodohkan dari keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya, yang semakin tersingkir-termarginalkan dari ketiada-beradaannya.

Fenomena ini menjadi paradoks ketika melihat Riau sebagai negeri yang tersohor karena “kemakmurannya” dengan berbagai kondisi riil masyarakatnya. Garis lurus pencapaian Visi Riau 2020 ternyata terkonsep dalam berbagai pencanangan program yang hanya sebatas rancangan aktifitas yang menguntungkan kepentingan para penguasa dan pemilik modal, sedangkan masyarakat dibiarkan hidup dalam “takdir” yang ditetapkan oleh para penguasa yang “rakus” tersebut. Padahal beban anggaran di Propinsi Riau yang dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan dan penyediaan pelayanan publik diatas rata-rata anggaran pada propinsi lain di Indonesia, akan tetapi justru dimanfaatkan untuk pemenuhan kepentingan para pejabat publik semata.

Grafik laporan tahunan dari dinas dan instansi terkait lainnya selalu menunjukkan peningkatan kesejahteraan, kesempatan mendapatkan pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, kebutuhan energi dan pangan serta lapangan pekerjaan) padahal realita dilapangan jauh dari apa yang seharusnya diharapkan. Laporan hanya sebatas pertanggung-jawaban normatif, sedangkan dalam tataran implementasi secara etis dan moral tak lagi mendapatkan perhatian. Harus diakui banyak peningkatan yang terjadi, tetapi peningkatan itu justru semakin meningkatkan keprihatinan masyarakat dalam kemiskinannya, pembodohan masyarakat secara sistematis serta peningkatan penyerobotan dan penggusuran lahan hidup masyarakat. Kondisi ini semakin diperparah dengan berbagai krisis yang terjadi akhir-akhir ini terutama selain krisis lingkungan, Propinsi Riau turut terserang krisis energi (listrik). Betapa tidak, negeri yang kemilau karena kubangan minyak yang dimiliki ternyata masih gulita karena keterbatasan pasokan energi yang dimiliki.

Sejarah kehidupan telah menorehkan catatan bahwa Gubernur Riau telah terpilih melalui gelaran sayembara politik dengan berbagai intrik yang berkembang di dalam proses pelaksanaannya. Sekarang, yang ditunggu adalah gebrakan nyata yang akan ditampilkan untuk melayani kepentingan masyarakat untuk kemudian menepis asumsi umum bahwa penguasa merupakan pelakon utama dalam sandiwara pembohongan dan pembodohan publik. Yang pada masa suksesi seakan-akan peduli dengan kepentingan masyarakat dengan majelis-majelis pertemuan yang disetting seakrab mungkin dan mendengarkan dengan seksama keluhan dari masyarakat.

Fenomena luar biasa ini hendaknya tidak hanya berlangsung sebatas prosesi suksesi semata, sehingga setelah terpilih, masyarakat kembali dilupakan, masyarakat pinggiran semakin termarginalkan. Sedangkan kepentingan yang diakomodir adalah kepentingan masyarakat kelas tertentu. Sehingga pertemuan-pertemuan kemudian hanya menjadi milik para kroni dan kolega penguasa, masyarakat hanya diberi kesempatan memimpikan pertemuan sampai batas waktu suksesi kembali digelar. Ini menunjukkan masih lemahnya tingkat moralitas yang melekat pada orang-orang yang hanya terobsesi pada kekuasaan.

Menurut Aristoteles dalam pandangan etika keutamaan (virtue ethics) secara alamiah masyarakat menantikan sosok pemimpin yang mampu mengembangkan suatu disposisi, sikap dan kecenderungan moral melalui kebiasaan yang baik, sehingga prilaku dan perbuatannya selalu bermoral. Pemimpin tersebut bukan orang yang sekedar melakukan sesuatu yang adil (doing something that is just), melainkan orang yang adil sepanjang hidupnya (being a just person), bukan sekedar orang yang yang melakukan tindakan yang baik, melainkan orang yang baik.

Melihat kondisi ini maka sudah menjadi tanggungjawab kita semua untuk kembali saling mengingatkan, melakukan introspeksi diri sehingga berbagai harapan akan pencapaian kesejahteraan masyarakat benar-benar terwujudkan. Beberapa catatan kecil dan usang yang sebenarnya sudah berulangkali terwacanakan, hendaknya benar-benar menjadi suatu komitmen dalam perwujudannya. Catatan kecil yang diharapkan menjadi solusi tersebut antara lain : Pertama, menggesa upaya penegakan supremasi hukum kepada para aparat hukum sebagai eksekutor serta masyarakat Propinsi Riau sebagai pengawas dengan cara melakukakan penuntasan terhadap berbagai kasus pelanggaran hukum yang terjadi selama ini terutama yang berkaitan dengan berbagai kasus korupsi dan kasus illegal logging yang sudah menjadi konsumsi informasi masyarakat secara nasional.

Kedua, membuat langkah taktis terhadap penyikapan krisis energi dan krisis lingkungan yang semakin akrab dengan kehidupan masyarakat Riau akhir-akhir ini, dengan cara : a) melakukan sinergisitas penanganan antara instansi pemerintah berwenang yang turut melibatkan masyarakat secara transparan sehingga mampu mendudukkan permasalahan yang terjadi sebenarnya, b) memperbaiki manajemen birokrasi yang bertanggungjawab terhadap permasalahan kekinian masyarakat Propinsi Riau (terutama permasalahan BBM dan Listrik) melalui pelayanan yang terimplementasi, bukan malalui pengutamaan pelayanan sebatas slogan-slogan semata, c) mendorong Pemerintah Daerah untuk mendesak Pemerintah Pusat melakukan peninjauan ulang terhadap peraturan-perundangan yang menghalangi pemanfaatan berbagai potensi yang dimiliki oleh Propinsi Riau dalam menyelesaikan pasokan energi daerah, d) mendorong Pemerintah Daerah untuk mengadopsi tekhnologi terapan modern yang mampu menghasilkan sumber energi alternatif yang berkelanjutan (sustainable).

Harapan semua pihak tentunya, kedepan Riau sebagai negeri yang makmur akan benar-benar mampu memakmurkan dan mensejahterakan masyarakatnya. Pengalaman masa lalu hendaknya dijadikan cerminan dalam proses pembelajaran hidup, belajar yang tiada henti, kapanpun, dimanapun, dengan siapapun dan apapun kondisinya, karena menurut Paulo Freire bahwa semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru, maka ambillah makna dari setiap pembelajaran dalam perjalanan hidup. Sekarang tinggal menantikan masa dimana waktu akan menunjukkan bahwa penguasa pewaris singgasana negeri melayu ini akan benar-benar memiliki komitmen untuk merealisasikan amanah yang dititipkan oleh masyarakat.


(Arsip : Bieb, diterbitkan di Harian Umum Riau Mandiri Januari 2009)

Tidak ada komentar: