Oleh
Handiro Efriawan
Ketika korupsi sudah menjadi realitas dalam kehidupan masyarakat yang nilainya tersamarkan secara sistematis dan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah hingga menjadi hak untuk diperebutkan dan diperjuangkan oleh setiap individu atau kelompok, maka tidak salah apabila kemudian korupsi dinisbatkan menjadi budaya. Onghokham menyatakan bahwa korupsi muncul sebagai budaya ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Tindakan berbau korupsi ini sebenarnya sudah menjadi aktifitas masyarakat dari seluruh stratifikasi sosial. Akan tetapi yang trend saat ini, korupsi menjadi pencitraan negatif yang terkhusus pada masyarakat kelas menengah-atas, yang memiliki stratifikasi sosial, kekuasaan dan kedudukan sedikit lebih dibandingkan masyarakat golongan proletar.
Corruptio atau corrumpere dalam bahasa latin dimaksudkan sebagai penggambaran perilaku yang secara tidak wajar dan illegal memperkaya diri dan kroni, dengan menyalah-gunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Menurut Todung Mulya Lubis yang melandasi terjadinya korupsi adalah Corruption by need (korupsi karena butuh) dan Corruption by greedy (korupsi karena tamak). Hal ini senada dengan pernyataan Abdul Rahman Ibnu Khaldun pada abad ke- 13 bahwa penyebab utama terjadinya korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah atau berkuasa.
Analisis ekstrim yang dilakukan oleh John Girling mengungkapkan bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktek-praktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dalam artian bahwa korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit) di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.
Dalam persfektif hukum Indonesia, korupsi sebagaimana dijabarkan dalam 13 buah pasal pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang kemudian diurai menjadi 30 jenis/bentuk rumusan tindak pidana korupsi, yang dikelompokkan menjadi tindakan-tindakan yang menyebabkan kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan serta tindakan gratifikasi.
Terseretnya para mantan pejabat yang berasal dari hampir seluruh wilayah Republik Indonesia merupakan fenomena khusus, karena memang mereka merupakan public figure yang berperan sebagai penyambung aspirasi, tempat berlindung dan tempat masyarakat menitipkan segala potensi sumberdaya dan asset-asset untuk dikelola dan diberdayakan dalam upaya pemenuhan hajat hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Sejak dikeluarkannya data dari Political Economic and Risk Consultancy pada tahun 2005 yang memposisikan Indonesia pada urutan kelima sebagai negara terkorup di Asia, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi hingga saat ini masih terkesan sebatas slogan semata karena secara psikologi pemerintah mengalami dilema akan kondisi aparat penegak hukum yang belum siap merealisasikan harapan tersebut, terlebih kondisi itu diperparah oleh tindakan sejenis yang dilakonkan oleh para petinggi negeri di lembaga legislatif yang notabene merupakan tempat masyarakat menitipkan harapan untuk menghasilkan berbagai produk kebijakan peraturan perundangan yang berpihak pada masyarakat.
Pemberantasan yang terkesan sektoral hendaknya harus dibenahi secara holistic dengan melibatkan masyarakat sebagai agent of social control yang melakukan pemantauan langsung, sehingga perlahan mengikis upaya intervensi kepada satu lembaga tertentu. Akan tetapi, untuk meng-gesa perwujudan itu semua, maka pemerintahpun harus siap untuk menyikapi temuan masyarakat secara arif dan bijaksana dengan menghilangkan berbagai kepentingan politik yang justru akan menimbulkan keengganan masyarakat untuk berperan secara aktif bersama pemerintah.
Berdirinya lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu realitas yang sebenarnya menunjukkan betapa negatifnya citra lembaga penegak hukum pemerintah dalam upaya penanggulangan berbagai kasus korupsi yang ada sebelumnya, walaupun harus kita sadari masih banyak pembenahan dan upaya strategis yang juga harus senantiasa dilakukan oleh lembaga yang sedang menuju pada kedewasaannya ini. Skala prioritas memang menjadi strategi yang masih efektif untuk dilakukan akan tetapi jangan justru menimbulkan pencitraan tebang-pilih dalam upaya penyelesaian berbagai tindakan korupsi yang timbul. Apalagi dalam upaya meningkatkan peran dan kewenangannya dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, KPK bersama Komisi Yudisial (KY), Komisi Kejaksaan (KK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Hak Asasi Manusia (komnas HAM) telah menyepakati untuk menjalin kerjasama secara sinergis dan komplementer yang dilandasi kesadaran bahwa korupsi terjadi secara sistematis dan sinergis, maka untuk menghentikan intensitasnya pun perlu dilakukan tindakan preventif, refresif dan bersinergis.
Terlepas adanya kepentingan pencitraan politik pemerintah ataupun kepentingan pihak-pihak tertentu untuk mendongkrak popularitas menjelang Pemilu 2009, setidaknya upaya penangan kasus yang turut menyeret keluarga dekat istana, secara positif hendaknya bisa kita tanggapi sebagai suatu bentuk political will pemerintah dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejalan dengan itu, maka hari anti korupsi yang sudah didengungkan hendaknya mampu dimaknai secara bersama dengan kesadaran. Jangan justru hanya menjadi slogan dan formalitas yang menambah daftar panjang “hari” yang menjadi euforia suatu moment yang bersifat sektoral semata.
Joseph Stiglitz mengatakan bahwa tidak ada negara yang kebal terhadap korupsi. Untuk itu dituntut penegakan hukum yang lebih baik (better enforcement of the international rule of law) antara lain dengan membangun kontrak sosial global yang baru (new global social contract) sehingga pelanggaran hukum dan ketidakadilan dapat dimonitor dan ditanggulangi secara lebih efektif.
Menurut Leo Tolstoy hampir semua orang berambisi untuk mengubah dunia, akan tetapi sangat jarang yang berfikir untuk mampu mengubah dirinya sendiri secara etis. Maka yang terpenting sesungguhnya dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan berbagai tindakan yang berbau korupsi ini harus diupayakan secara dini melalui lingkungan keluarga dan lembaga-lembaga pendidikan melalui penanaman nilai-nilai moral. Karena segala tindakan negatif diyakini hanya akan mampu diselesaikan melalui proses pembinaan individu-individu yang secara sadar memahami akan hak dan kewajibannya dalam ada dan keberadaannya sebagai makhluk yang berinteraksi dalam kehidupan sosial.
(Arsip : Bieb, diterbitkan di Harian Umum Riau Mandiri Desember 2008)
Minggu, 16 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar